Hukumnyatertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi'in tersebut dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah. 19. Muttafaqun 'alaih Maksudnya hadits yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka. 20. Rawi Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits Jauhilaholeh kalian sungai yang lain karena merupakan fitnah. Ketahuilah bahwasanya di antara kedua mata Dajjal ada tulisan KAFIR yang dapat dibaca oleh setiap orang mukmin yang mampu membaca maupun tidak. Sesungguhnya, salah satu matanya datar dan di atasnya ada daging. Pada akhir umurnya, Dajjal muncul di atas lembah Yordania di atas celah Afiq. AlHafizh al-'Iraqi berkomentar: "Hadits ini shahih, Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad-nya." (Al-'Iraqi, Mahajjat al-Qurb ila Mahabbat al-'Arab, hlm. 176). Periode terakhir pada hadits di atas adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian. Ini merupakan berita gembira akan tegaknya kembali HR: Bukhari - Muslim). Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan; "Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak". Imam an-Nawawy Rh berkata; Ini adalah hadis yang harus dihafal dan dipahami dengan baik dan benar dan menjadi dalil dalam menolak bid'ah dan kurafat. HadistDhaif - Ulumul Hadis 1. Pengertian Hadis Dhaif Menurut bahasa (lughat), dhaif adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Sedangkan menurut Muhaditsin, hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul pada sifat-sifat bagi hadis yang diterima. Menurut pendapat kebanyakan ulama, hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan. Catatan: Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi'i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan 8eD0U. Jakarta - Menurut hadits riwayat Ahmad, ada tiga orang yang doa mereka tidak terhalang atau tidak tertolak. Hadits tersebut dihasankan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab shahih keduanya. Berikut bunyi haditsnya,عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثَلاثَةٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا فَوْقَ الْغَمَامِ وَتُفَتَّحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَعِزَّتِي لأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍArtinya Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Tiga orang yang doanya tidak tertolak pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai ia berbuka, dan doa orang yang terzalimi, Allah akan mengangkatnya di bawah naungan awan pada hari kiamat, pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya seraya berfirman Demi keagunganKu, sungguh Aku akan menolongmu meski setelah beberapa saat." HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Berdasarkan hadits di atas, tiga orang yang tidak tertolak doanya adalah pemimipin yang adil, orang yang bepuasa, dan orang yang terzalimi. Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki berpendapat mengenai golongan pertama yakni pemimpin yang adalah orang-orang yang mematahkan 'duri' orang-orang zalim dan pelaku kriminal. Ia menjadi sandaran kaum dhuafa dan orang-orang miskin."Dengan kehadiran pemerintah yang adil, urusan publik terselesaikan sehingga mereka merasa aman dan terjamin jiwa, harta, dan nama baiknya," kata Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki dikutip dari laman SD Muhammadiyah 1 Ketelan kedua yakni orang yang berpuasa sampai ia berbuka meliputi orang-orang yang berpuasa sunnah maupun wajib. Khususnya puasa di bulan Ramadhan."Terkabulnya doa orang yang berpuasa disebabkan kuatnya unsur kedekatan diri kepada Allah SWT, mengosongkan jiwa dari perkara mubah dan godaan syahwat," demikian keterangan Sayyid Alwi bin Abbas adalah golongan orang yang dizalimi. Menurut buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karangan Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi terkabulnya doa orang yang dizalimi menjadi salah satu bukti dahsyatnya kezaliman yang dibenci Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surah Hud ayat 102,وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌArtinya Demikianlah siksaan Tuhanmu apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya siksaan-Nya sangat pedih lagi sangat demikian, sejatinya, semua doa dikabulkan oleh Allah SWT. Namun, tentang waktu terkabulnya hanya Allah yang tahu dan menurut riwayat Ahmad juga menyebutkan, Allah SWT memiliki cara tersendiri untuk mengabulkan doa-doa dari hambaNya yang memohon pertolongan. Rasulullah SAW dalam haditsnya menjelaskan beberapa cara Allah mengabulkan permintaan dari hambaNya. Dari Abu Sa'id yang mengutip sabda Rasulullah SAW,ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُArtinya "Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi melainkan Allah akan beri padanya tiga hal 1 Allah akan segera mengabulkan doanya, 2 Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan 3 Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal." Para sahabat lantas mengatakan, "Kalau begitu kami akan memperbanyak berdoa." Rasulullah lantas berkata, "Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan doa-doa kalian." HR Ahmad. Simak Video "Bupati Meranti M Adil Tiba di Gedung KPK Sambil Bawa Koper" [GambasVideo 20detik] rah/lus Sudut Hukum Pembagian Hadis Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan Pembagian hadits yang ketiga adalah berdasarkan sifatnya yang tertolak. Ada begitu banyak hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu istilah, yaitu hadits lemah atau dhaif. Pengertian hadits dhaif adalah مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِهِ Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Contoh hadits yang dhaif adalah مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فيِ دُبُرِهَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا نَزَلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad. Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif. 1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dhaif. Pendapat pertama mengharamkannya, karena dianggap tidak bersumber dari Rasulullah SAW secara benar. Di antara yang berpandangan demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari. Pendapat yang kedua membolehkan diriwayatkannya hadits dhaif ini, dengan syarat-syarat tertentu yang ketat. Di antara syaratnya adalah bahwa konten hadits itu tidak terkait dengan masalah fundamental aqidah dan hukum halal haram dalam syariat. Sedangkan bila kontennya seputar anjuran untuk memberi nasehat, semangat untuk ibadah atau ancaman meninggalkan yang haram, serta kisah-kisah, maka hukumnya dibolehkan. Di antara mereka yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan hukum mengamalkan konten hadits yang dhaif, sebagian ulama membolehkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizdh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa di antara syarat-syarat itu adalah Kedhaifan hadits itu tidak terlalu parah. Hadits itu berpegangan di atas dasar yang banyak dipakai orang. Ketika mengamalkan hadits itu tidak meyakini bahwa hadits itu tsubut, tetapi sekedar berjaga-jaga seandainya hadits shahih. 2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. a. Lemah Dari Sisi Isnad Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar. Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain hadits muallaq معلّق, mursal مرسل, mu’dhal معضل, munqathi’ منقطع, mudallas مدلّس, mursal khafi مرسل خافي, mu’an-an معنعن dan muannan معنّن b. Lemah Dari Sisi Perawi Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya. Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz Secara garis besar, hadis ada dua klasifikasi. Pertama Al-Hadîts al-maqbûl, yakni hadis yang diterima, yang dijadikan dalil dan digunakan ber-hujjah. Kedua Al-Hadîts al-mardûd, yakni hadis yang ditolak, tidak bisa dijadikan dalil dan tidak bisa digunakan untuk ber-hujjah. Hadis yang diterima, yang bisa dijadikan dalil dan boleh digunakan untuk ber-hujjah adalah hadis shahih dan hasan. Jika tidak termasuk hadis shahih atau hasan, baik lidzâtihi maupun li ghayrihi, maka sebuah hadis dinilai sebagai hadis mardûd tertolak. Yang menjadikan suatu hadis diterima atau ditolak adalah sanad, perawi dan matan-nya. Jika dari sanad hadis itu tidak hilang seorang perawi yang hilangnya menyebabkan perawi yang hilang itu tidak bisa ditetapkan adil, perawinya tidak dinilai cacat, matan-nya tidak lemah/rusak rakîk dan tidak menyalahi sebagian al-Quran atau as-sunnah mutawatirah atau ijmak yang qath’i, maka hadis tersebut diterima dan diamalkan serta dijadikan sebagai dalil syariah, baik apakah hadis itu shahih atau hasan. Adapun jika hadis itu tidak memiliki sifat-sifat tersebut maka hadis itu ditolak mardûd dan tidak dijadikan dalil. Hadis mardûd dalam istilah para ulama disebut dengan istilah hadîts dha’îf. Imam Ibnu Shalah di dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, setiap hadis yang di dalamnya tidak terhimpun sifat-sifat hadis shahih, tidak pula sifat-sifat hadis hasan yang telah disebutkan, maka merupakan hadis dha’îf. Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz III, setelah menyatakan definisi yang sama persis dengan definisi Imam Ibnu Shalah tersebut, beliau menjelaskan, hadis dha’îf itu adalah hadis yang tidak terbukti ke-tsiqah-an para perawinya, sebagian atau seluruhnya. Penyebabnya adalah ketidakjelasan pada keadaannya jahâlah fî hâlihim atau noda pada dirinya tentang kejujuran dan semacam itu yang mengharuskan adanya penafian keadilan dan ke-tsiqah-annya. Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi dalam At-Taqyîdh wa al-Idhâh Syarh Muqaddimah Ibni Shalah, sifat-sifat yang tidak terpenuhi yang menjadikan hadis itu dha’îf ada enam sifat 1 bersambungnya sanad; 2 keadilan perawi; 3 keselamatan dari banyak keliru dan lupa; 4 datangnya hadis dari arah lain yang di dalam sanad-nya ada mastûr tetapi tidak banyak rancu; 5 keselamatan dari syadz; 6 keselamatan dari illat. Jika sebuah riwayat tidak memenuhi satu atau lebih sifat itu, maka ia dinilai sebagai hadis dha’îf. Atas dasar tidak terpenuhinya sifat hadis shahih atau hasan itu maka hadis dha’îf ada banyak bagian. Abu Hatim Ibnu Hibban al-Basti membicarakan panjang lebar tentang itu dan menyatakan ada 49 bagian hadis dha’îf. Menurut Ibnu Shalah, sederhananya yang menjadi patokan pembagian itu bahwa bagian yang tidak memenuhi satu sifat mulai yang pertama hingga keenam, lalu yang tidak memenuhi satu sifat bersama sifat lainnya, lalu yang tidak memenuhi tiga sifat dan seterusnya, hingga yang tidak memenuhi semua sifat itu dan ini merupakan jenis yang paling rendah. Dalam hal ini, Imam Ibnu Shalah menyatakan bahwa hadis mawdhû’ hadits palsu adalah hadits dha’îf yang paling buruk. Menurut Al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi, pernyataan tersebut adalah benar; bahwa janis paling buruk dari jenis hadis dha’îf adalah hadis mawdhû’ palsu. Sebab hadis itu dusta. Ini berbeda dengan yang tidak terpenuhi siat-sifat yang telah disebutkan sebab dari kosongnya sifat itu tidak mesti hadis itu dusta. Dengan demikian, seperti yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi dalam At-Taqrîb, ke-dha’îf-an hadis itu berbeda-beda tingkatnya seperti halnya tingkat keshahihan hadis. Dalam Mushthalah al-Hadîts, ada berbagai sebutan untuk jenis hadis dha’îf seperti munqathi’, mu’allaq, mudhal, syâdz, mu’allal, munkar, mawdhû’, maqlûb, mudhtharib dan sebagainya. Inisebagimana dirinci dalam Mushthalah al-Hadîts. Dalam hal itu, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah I/338-340 menyatakan, bahwa di bawah hadis mardûd ada berbagai jenis hadis yang tidak keluar dari sifat-sifat berikut Pertama, al-mu’allaq. Ini adalah jenis hadis yang dari sanadnya gugur satu perawi atau lebih, secara berurutan sejak awal sanad; gugur secara jelas, tidak tersembunyi. Di dalamnya termasuk apa yang oleh seorang muhaddits atau al-mushannif disembunyikan semua sanadnya. Misalnya, dia mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda atau berbuat demikian…” Kedua, al-mu’dhal. Ini adalah riwayat yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawi di satu tempat atau lebih. Di dalamnya termasuk apa yang di-irsâl-kan oleh tâbi’ at-tâbi’în. Misal, ketika tâbi’ at-tâbi’în mengatakan, “Rasulullah saw. bersabda…,” atau, “Rasulullah saw. melakukan begini…,” dan semacamnya. Intinya, mereka langsung menyandarkan hadis itu kepada Rasulullah saw. Namun demikian, tidak termasuk dalam jenis ini ucapan fukaha, “Rasulullah saw. bersabda…,” dan ucapan mereka, “Dari Rasulullah saw….” Sebab ucapan fukaha seperti itu bukanlah riwayat melainkan istisyhâd dan istidlâl, jadi boleh saja. Ketiga, al-munqathi’. Ini adalah hadis yang dari riwayatnya gugur satu perawi sebelum sahabat di satu tempat, di manapun, dan jika berbilang tempat dimana pada setiap tempat hanya satu perawi yang gugur sehigga menjadi munqathi’ pada beberapa tempat. Demikian juga termasuk munqathi’, hadis yang di dalamnya disebutkan perawi yang mubham samar/misterius. Misalnya, di dalam sanadnya disebutkan “…an rajul[in] dari seorang laki-laki…” tanpa disebutkan siapa orang itu. Keempat, asy-syâdz. Maknanya, seorang yang tsiqah meriwayatkan hadis yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih tsiqah dari dirinya. Tidak termasuk syadz hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, yang tidak diriwayatkan oleh selain dia. Sebab apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah diterima walaupun tidak diriwayatkan oleh selain dia, dan boleh dijadikan hujjah. Jadi asy-syâdz hanyalah riwayat seorang tsiqah yang menyalahi apa yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah. Artinya, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbûl yang menyalahi perawi yang lebih râjih darinya. Kelima, al-mu’allal, yakni riwayat yang di dalamnya ada illat. Ini adalah hadis yang di dalamnya ada illat yang mencederai keshahihannya, sementara pada lahiriahnya selamat dari illat. Keenam, al-munkar. Ini adalah hadis yang diriwayatkan secara infirâd menyendiri oleh perawi yang tidak tsiqah. Jadi al-munkar adalah apa yang diriwayatkan oleh perawi dha’îf menyalahi perawi tsiqah. Ketujuh, al-mawdhû’ palsu, yakni hadis yang dibuat-buat. Ini adalah hadis dha’îf yang paling buruk. Sebuah hadis diketahui sebagai mawdhû’ dengan pengakuan pembuatnya, atau yang posisinya seperti pengakuan. Kadang kepalsuan itu dipahami dari qarînah kondisi perawi, seperti perawi mengikuti dalam kedustaan itu keinginan sebagian pemimpin, atau jatuhnya dia dalam isnâd-nya, sementara dia pendusta, di mana khabar itu tidak diketahui kecuali dari sisinya, dan tidak ada seorang pun yang mengikutinya tidak ada tâbi’ satu pun dan tidak ada syâhid. Kepalsuan hadis itu juga bisa dipahami dari keadaan apa yang diriwayatkan, yakni dari keadaan matan seperti rikâkah kelemahan/kerusakan lafal dan maknanya, atau karena menyalahi ayat al-Quran, as-Sunnah mutawatir atau ijmak yag qath’i. Ketujuh jenis itu hanyalah sebagian dari jenis hadîs mardûd, dan masih ada jenis-jenis lainnya. Yang harus diperhatikan, sebuah hadis tidaklah ditolak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat shahih. Tentu selama sanad-nya, para perawi dan matannya diterima. Dengan demikian, hadis itu merupakan hadis hasan karena para perawinya kurang dari perawi shahih atau di dalamnya ada mastûr atau jelek hapalannya, tetapi dikuatkan dengan qarînah yang me-râjih-kan penerimaannya, misalnya dikuatkan dengan mutâbi’ atau syâhid. Jadi tidak boleh dibuat-buat dalam menolak hadis selama mungkin menerimanya sesuai ketentuan sanad, perawi dan matan. Apalagi jika hadis itu diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh para fukaha umumnya. Ia tetap diterima meskipun tidak memenuhi syarat-syarat shahih sebab hadis itu msuk dalam hadis hasan. Sebagaimana tidak boleh dibuat-buat daam menolak hadis, demikian juga tidak boleh tasâhul gampangan dalam menilai hadis sehingga menerima hadis yang mardûd karena sanad, perawi atau matannya Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, I/341. Status hadits dha’îf tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa diambil sebagai dalil atas hukum syariah. Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh jumhur ulama dan fukaha. Termasuk keliru pendapat bahwa hadis dha’îf, jika datang dari beragam jalan yang dha’îf bisa naik ke derajat hadis hasan atau shahih. Sebab jika ke-dha’îf-an hadis itu karena kefasikan perawinya atau dia dituduh dusta secara riil, kemudian datang dari jalan-jalan lain yang sejenis maka justru menambah ke-dha’îf-an di atas ke-dha’îf-an. Adapun jika makna yang dikandung hadis dha’îf itu juga dikandung oleh hadis shahih atau hasan maka hadis shahih atau hasan itu yang dijadikan dalil dan digunakan sebagai hujjah. Adapun hadis dha’îf itu ditinggalkan. Oleh karena itu tidak boleh berdalil dengan hadits dha’îf sama sekali. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman] HADIS merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Hadis adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria. Jenis-jenis hadis yang penting dipahami adalah jenis hadis berasal dari keasliannya. Klasifikasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. BACA JUGA Evolusi Ilmu Hadis Jenis-jenis hadis berdasarkan keasliannya dibagi dalam sejumlah kategori. Berikut jenis-jenis hadis tersebut 1 Hadis Sahih Hadis Sahih merupakan hadis dengan tingkatan tertinggi penerimaannya. Sebuah hadis diklasifikasikan sebagai sahih jika memenuhi kriteria Sanadnya bersambung yang artinya diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah kehormatan-nya, dan kuat ingatannya. Pada saat menerima hadis, masing-masing rawi telah cukup umur baligh dan beragama Islam. Matannya tidak bertentangan serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis. Hadis Sahih terbagi menjadi dua yaitu Sahih Lizatihi, yakni hadis yang sahih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan lain dan Sahih Lighairihi, yakni hadis yang sahihnya kerana diperkuat dengan keterangan lain. 2 Hadis Hasan Hadis Hasan merupakan hadis yang sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit kelemahan pada rawi-rawinya. Misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat. Menurut Imam Tirmidzi, hadits Hasan adalah hadits yang tidak berisi informasi yang bohong, tidak bertentangan dengan hadits lain dan Al-Qur’an dan informasinya kabur, serta memiliki lebih dari satu Sanad. Perbedaan hadits Shahih dan hasan terletak pada kedhabithannya. Jika hadits Shahih tingkat dhabithnya harus tinggi, maka hadits hasan tingkat kedhabithannya berada dibawahnya. 3 Hadis Dhaif Hadis Dhaif merupakan hadis yang sanadnya tidak bersambung dapat berupa hadis mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal, atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat. Hadis ini adalah kategori hadis yang tertolak dan tidak dapat dinyatakan kebenarannya berasal dari perkataan atau perbuatan Nabi. Hadis Dhaif termasuk kategori hadis lemah karena terputusnya rantai periwayatan sanad dan adanya kelemahan pada seorang atau beberapa orang penyampai riwayat perawi hadis tersebut. Terdapat berbagai tingkatan derajat hadis lemah, mulai dari yang lemahnya ringan hingga berat. Di antara macam-macam tingkatan hadis yang dikategorikan lemah, seperti 4 Hadis Mursal Hadis yang disebutkan oleh Tabi’in langsung dari Rasulullah tanpa menyebutkan siapa shahabat yang melihat atau mendengar langsung dari Rasul. 5 Hadis Mu’dhol Hadis yang dalam sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang tidak dicantumkan secara berurut. 6 Hadis Munqath Semua hadis yang sanadnya tidak bersambung tanpa melihat letak dan keadaan putusnya sanad. Setiap hadis Mu’dhal adalah Munqathi, namun tidak sebaliknya. 7 Hadis Mudallas Seseorang yang meriwayatkan dari rawi fulan sementara hadis tersebut tidak didengarnya langsung dari rawi fulan tersebut, namun ia tutupi hal ini sehingga terkesan seolah ia mendengarnya langsung dari rawi fulan. 8 Hadis Mu’an’an Hadis yang dalam sanadnya menggunakan riwayat seseorang dari seseorang. 9 Hadis Mudhtharib Hadis yang diriwayatkan melalui banyak jalur dan sama-sama kuat, masing-masingnya dengan lafal yang bertentangan serta tidak bisa diambil jalan tengah. 10 Hadis Syadz Hadis yang menyelisihi riwayat dari orang-orang yang tsiqah tepercaya. Atau didefinisikan sebagai hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur namun perawinya tersebut kurang tepercaya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan hadis. BACA JUGA Hadist, Kenapa Harus Shahih Bukhari dan Muslim? 11 Hadis Munkar Hadis yang diriwayatkan oleh perawi kategori lemah yang menyelisihi periwayatan rawi-rawi yang tsiqah. 12 Hadis Matruk Hadis yang di dalam sanadnya ada perawi yang tertuduh berdusta. 13 Hadis Maudlu’ Hadis Maudlu’ merupakan hadis palsu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Sebuah hadis dikatakan Hadis Maudlu’ jika hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta. Meski makna hadis palsu bisa baik, namun hadis ini bukanlah perkataan atau perbuatan Rasulullah. Berbeda dengan hadis dhaif yang bersifat lemah, hadis Maudlu’ sudah terbukti bukanlah hadis dari Rasulullah. Biasanya isi Hadis Maudlu’ bertentangan dengan ayat Al Quran atau hadis lain yang sahih. [] Description MPU 2311 PENDIDIKAN ISLAM 1 Read the Text Version No Text Content! Pages 1 - 10 TOPIK 3 AL-HADIS Topik 3 HADIS Hasil Pembelajaran 3  Menghuraikan hadis bertajuk “Amalan Yang Tertolak ” a. Maksud Hadis b. Konsep Ibadah c. Ciri-ciri Ibadah yang diterima d. Ciri-ciri Ibadah yang tertolak e. Pengajaran hadis Topik 3 HADIS HADIS 3 “Amalan Yang Tertolak” MAKSUD HADIS Daripada Ummu al-Mukminin Ummu Abdullah 'Aisyah ‫رضي الله عنها‬beliau berkata Rasulullah SAW telah bersabda Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu perkara dalam urusan kita ini, yang bukan daripadanya, maka ia tertolak. Hadis riwayat al-lmam al-Bukhari dan al-lmam Muslim. Dalam riwayat Muslim, ada hadis lain berbunyi Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada asal usul dengan agama kita,maka ia tertolak Al-Imam al-Bukhari Kandungan Hadis  Islam ialah mengikut,bukannya rekaan Rasulullah telah memelihara Islam daripada keterlanjuran para pelampau dan penyelewengan ahli batil melalui hadis.  Hadis ini bersumberkan banyak ayat-ayat Al-Quran yang telah menjadi nas bahawa kemenangan dan kejayaan itu adalah petunjuk daripada Rasulullah Konsep Ibadah  Dalam Ibadah sesuatu yang dibolehkan melakukannya dalam ibadah tertentu tidak semestinya boleh dilakukan dalam ibadah yang lain pula.  Amalan terbahagi kepada 2 bahagian iaitu 1 Ibadah sesuatu ibadah yang terkeluar dari ruang lingkup hukum Allah dan Rasulnya secara keseluruhannya maka ditolak. Contohnya seorang bertaqarubb mendekatkan diri dengan Allah dengan mendengar nyanyian,menari dan dll 2. Muamalat Iaitu segala jenis aqad dan fasakh pembatalan aqad.Sekiranya berlawanan dengan syarak secara keseluruhan,maka ia adalah batil dan ditolak.  Dalilnya ialah peristiwa yang berlaku pada zaman Rasulullah lelaki datang menemui baginda meminta agar ditukarkan hukum hudud kesalahan zina yg telah ditentukan kepada tebusan dengan harta dan itu nabi menolak dan membatalkan permintaan lelaki itu. Ciri-ciri ibadah yang diterima Amalan yang diterima  Terdapat amalan baru tidak terdapat pada zaman Rasulullah yg tidak bertentangan dengan hukum dalil dan kaedah syarak yg menyokongnya Contohya Masalah menghimpun Al-Quran dlm satu mashaf pada zaman Abu Bakar danPenulisan ilmu-ilmu nahu,faraidh,tafsir dan dll.. Rujuk kitab syarah hadis 40 imam nawawi Ciri-ciri ibadah yang ditolak Amalan yang ditolak  Hadis ini merupakan nas jelas yang menolak setiap amalan yg tidak berdasarkan kepada seorang bertaqarubb mendekatkan diri kpd Allah dengan mendengar nyanyian, lelaki telah bernazar pada zaman Rasulullah bahawa dia akan berdiri di tengah panas matahari,tidak akan duduk dan tidak akan berteduh sambil berpuasa. Rujuk kitab syarah hadis 40 Imam nawawi Pengajaran hadis  Islam adalah agama yang sudah sempurna pada dasar dan tidak perlu ditokok tambah.  Sebarang tokok tambah,ubah suai atau pengurangan yang bertentangan dengan usul agama adalah bid’ah yg diharamkan ditolak dan sesat.  Bid’ah ialah segala perkara yang tidak berdasarkan usul agama seumpama cipta ibadat tertentu seperti solat cara baru,upacara keagamaan baru dan dll.  Kita mestilah berpegang teguh dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah demi menjamin kesejahteraan hidup.

hadits yang tertolak adalah hadis